1. Pendidikan
Sebagai putra sulung tokoh Institut Boedi Oetomo, Pram kecil malah
tidak begitu cemerlang dalam pelajaran di sekolahnya. Tiga kali tak
naik kelas di Sekolah Dasar, membuat ayahnya menganggap dirinya sebagai
anak bodoh. Akibatnya, setelah lulus Sekolah Dasar yang dijalaninya di
bawah pengajaran keras ayahnya sendiri, sang ayah, Pak Mastoer, menolak
mendaftarkannya ke MULO (setingkat SLTP).
Ia pun melanjutkan pendidikan
di sekolah telegraf (Radio Vakschool) Surabaya atas biaya ibunya. Biaya
pas-pasan selama bersekolah di Surabaya juga hampir membuat Pram gagal
di ujian praktik. Ketika itu, tanpa mempunyai peralatan, ia tetap
mengikuti ujian tersebut namun dengan cara hanya berpura-pura sibuk di
samping murid yang terpandai. Walau begitu, secara umum nilai-nilai
Pram cukup baik dan ia pun lulus dari sekolah meski karena meletusnya
perang dunia II di Asia, ijazahnya yang dikirim dari Bandung tak pernah
ia terima.
2. Penjara
Penjara adalah tempat yang cukup akrab dengan kehidupan Pram. Dalam
tiga periode (zaman Belanda, Orde Lama dan Orde Baru), ia selalu sempat
mencicipi penjara. Alasannya pun beragam, mulai dari keterlibatannya
dalam pasukan pejuang kemerdekaan pada zaman penjajahan Belanda,
masalah bukunya "Hoa Kiau di Indonesia" yang merupakan pembelaan
terhadap nasib kaum Tionghoa di Indonesia namun tidak disukai
pemerintah Orde Lama, sampai akibat tuduhan terlibat dalam Gerakan 30
September 1965 oleh rezim Orde Baru yang dijalani tanpa melewati proses
peradilan. Namun justru di dalam penjara itulah, lahir beberapa
karyanya, termasuk masterpiece "Tetralogi Buru" dan juga roman "Arus
Balik".
3. Tetralogi Buru
"Tetralogi Buru" (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah
Kaca) adalah karya yang ia buat selama masa pembuangan di Pulau Buru.
Seri novel yang mengisahkan tentang Minke, yang pada dasarnya adalah
kisah hidup seorang jurnalis pribumi Indonesia pertama R.M. Tirto Adi
Soerjo, itu pada awalnya dikisahkan secara lisan kepada sesama tahanan
di Buru karena tidak adanya fasilitas alat tulis. Titik terang mulai
muncul 10 tahun kemudian saat Pram yang selalu berada di bawah sorotan
dunia internasional (yang karenanya membuat ia tidak mengalami siksaan
seberat tahanan lain, meski gendang telinganya tetap rusak akibat
siksaan aparat) mendapat sebuah mesin tik kiriman penulis Prancis Jean
Paul Sartre. Namun, mesin tik yang masih baru itu sendiri tak pernah
sampai ke tangannya, Angkatan Darat malah menggantinya dengan mesin tik
bobrok, yang pitanya harus dibuat sendiri oleh para tahanan itu dengan
bahan seadanya. Karya Tetralogi Buru juga hampir saja tak dapat
diselamatkan seperti banyak karya-karya Pram lainnya yang dibakar oleh
tentara. Tetapi jasa-jasa orang asing seperti seorang pastor Jerman dan
seorang warganegara Australia bernama Max Lane yang berhasil
menyelundupkan keluar dan akhirnya menerbitkan Tetralogi Buru itu di
luar negeri. Tak heran jika Pram pernah berkata, "Karya saya sudah
diterjemahkan ke dalam 36 bahasa, tapi saya tidak pernah dihargai di
dalam negeri Indonesia."
4. Karya
Dalam banyak tulisannya seperti novel "Arok Dedes", "Tetralogi Buru",
"Di Tepi Kali Bekasi", "Jalan Raya Pos Jalan Daendels", dll., Pram
terbukti sebagai seorang sejarawan handal yang menawarkan cara pandang
sejarah yang berbeda. Sementara sejarah yang ada selama ini menurutnya
hanyalah sejarah para penguasa dan peperangan, ia pun selalu berusaha
memotret dan menggali sejarah dari sudut pandang rakyat dan kaum
jelata. Saat ini, ketika kesehatan membuatnya tak dapat menulis lagi,
kegiatannya adalah mengumpulkan kliping untuk proyek ensiklopedia
Nusantara yang tebalnya bahkan telah mencapai 4 meter! Proyek itu
sendiri rencananya akan mulai dikerjakan dengan uang honor yang akan
diterima jika ia menerima penghargaan Nobel.
Selain berkali-kali dinominasikan untuk meraih penghargaan Nobel
Sastra, sampai saat ini, telah berbagai penghargaan ia terima dari
banyak penjuru dunia. Dari penghargaan Ramon Magsaysay di Filipina yang
sempat menimbulkan polemik di Indonesia sampai Pablo Neruda Award di
Chili. Mengenai belum berhasilnya ia merebut Nobel Sastra itu, seorang
tokoh sastra Indonesia pernah mengatakan bahwa sebenarnya dulu Pram
pernah hampir dapat meraih penghargaan tersebut, sebelum seorang tokoh
yang berpengaruh di Indonesia mendatangi juri-juri penilai nobel
tersebut dan membisikkan kalimat "Pramoedya is ...."
Sekitar 200 buku Pram telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa:
dari Yunani, Spanyol, Belanda, Jerman, Korea, Jepang, Turki, sampai
bahasa Malayalam -- suatu bahasa etnis di India. Dari pameran sampul
karya Pram yang baru-baru ini diadakan di Teater Kecil Taman Ismail
Marzuki, Jakarta, banyak sampul depan terjemahan ini memakai aksara
non-Latin, seperti aksara Thailand, Turki, Jepang, Korea, Rusia. Dari
semua ini, terjemahan novel Pram ke bahasa Rusia memang paling awal.
Sebelum karya berjudul "Sekali Peristiwa di Banten Selatan", pada tahun
1957 misalnya telah terbit edisi Moskwa untuk karya berjudul "Cerita
dari Blora", dan kemudian pada 1959 terbit "Cerita dari Blora" dalam
bahasa Turkmengozidat, Ashkabad. Tahun 1962 juga terbit "Na Brehu Reky
Bekasi", yang merupakan edisi Chek untuk "Di Tepi Kali Bekasi.
4. Panjang Umur
Apa resep rahasia panjang umur menurut Pram? Sering tersenyum, atur
pernafasan, makan bawang putih dan minum anggur merah, demikian yang
selalu dikatakan Pram di berbagai kesempatan. Sebelum terkena serangan
stroke pada tahun 2000, karena terpengaruh kebiasaannya selama berada
di Pulau Buru, Pram selalu menghabiskan waktu dan menjaga kesehatannya
dengan mencangkul. Sedikit bergurau waktu itu ia mengatakan bahwa
mungkin ia tak akan hidup sampai selama ini jika tak menjalani kamp
kerja paksa di Buru. Namun di luar semuanya, memang tak ada yang tahu
nasib dan umur seseorang selain Penciptanya.
5. Film
Meski beberapa karyanya terdahulu telah difilmkan di beberapa negara
asing, walau masih cenderung ke film non-komersil dan peredarannya
dilarang di Indonesia. Berita terakhir mengabarkan bahwa beberapa karya
utama Pram seperti "Tetralogi Buru" serta beberapa karyanya seperti
"Gadis Pantai", "Mangir", dll. telah disetujui untuk difilmkan atas
kerjasama beberapa sineas dan rumah produksi lokal dengan biaya
miliaran rupiah. Jumlah ini sendiri adalah tawaran paling rendah,
karena sebelumnya ia bahkan telah menolak sutradara tenar Amerika
Oliver Stone yang kabarnya berani membeli hak memfilmkan "Bumi Manusia"
sekitar US$ 1,5 juta (sekitar 15 miliar rupiah). Menurut putrinya,
Astuti Ananta Toer, Pram menginginkan orang Indonesia yang menjadi
produsernya.
6. Kabar Terakhir
Di usianya yang ke 81 tahun, Pram dikabarkan sedang sakit. "Bapak sakit
karena sedih mendengar berita berbagai bencana yang menimpa di
Indonesia," kata keluarganya. Kesehatannya berangsur membaik setelah
rombongan cucunya datang ke kediamannya di Bojong membawa gitar dan
organ. Pram kini memang selalu menunggu dengan harap kedatangan Cindy, Vicky, Aditya, Angga, Cynthia, Rofa, dan Gitra -- para
cucunya dari generasi MTV. Pram, yang pada dasarnya seorang penyendiri
itu, kangen mendengar para cucunya yang berusia SMP sampai SMA itu
bernyanyi riang apa saja -- dan karenanya selalu bangkit daya hidupnya.
"Pram suka banget dinyanyikan itu, lho, lagu Amor, amor, juga Ave
Maria. Pernah cucu-cucu menyanyikan lagu Peter Pan, Pram tidak ngerti,
tapi ia seneng banget," kata Titik putrinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar